SUMENEP — Meski bantuan logistik dan material mulai berdatangan pascagempa yang mengguncang Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, namun perhatian terhadap kondisi mental para korban dinilai masih minim. Sejumlah aktivis kemanusiaan mendesak pemerintah agar segera menurunkan tim psikolog untuk memulihkan trauma warga terdampak.
“Anak-anak dan lansia masih mengalami ketakutan. Setiap ada suara keras atau getaran kecil, mereka langsung panik. Ini tanda trauma yang serius,” kata Sofyan S.H, aktivis muda Sumenep, Kamis (30/10/2025).
Menurutnya, penanganan bencana tidak boleh berhenti pada pemberian bantuan fisik seperti sembako atau perbaikan rumah. Pemulihan psikologis merupakan bagian penting yang sering kali terabaikan dalam setiap peristiwa bencana.
“Luka di dinding rumah bisa diperbaiki, tapi luka di hati butuh sentuhan kemanusiaan. Pemerintah harus hadir bukan hanya dengan logistik, tapi juga tenaga psikolog yang mampu menenangkan warga,” ujar Sofyan yang Juga Aktivis Pemuda Muhammadiyah Sumenep.
Ia juga mengajak lembaga pendidikan, organisasi kepemudaan, dan relawan kemanusiaan untuk ikut terlibat dalam program trauma healing di daerah terdampak. Menurutnya, kehadiran para pendamping sosial bisa membantu masyarakat bangkit dari ketakutan dan kembali beraktivitas normal.
Sejumlah warga di Kecamatan Gayam dan Nonggunong mengaku masih memilih tidur di luar rumah karena khawatir akan gempa susulan. “Kami masih takut, apalagi anak-anak,” ujar Mustafa, warga Desa Gayam, dengan mata berkaca-kaca.
Gempa berkekuatan magnitudo 5,2 yang mengguncang Pulau Sapudi pekan lalu menyebabkan puluhan rumah rusak. Pemerintah Kabupaten Sumenep telah menyalurkan bantuan logistik, namun sebagian warga berharap perhatian terhadap kesehatan mental juga menjadi prioritas.(Jk/red)

 
					





 
						 
						 
						 
						