Maulid Nabi Muhammad SAW bukan sekadar peringatan kelahiran seorang Rasul. Ia adalah momentum untuk meneguhkan cinta, meneladani akhlak, sekaligus merawat persatuan di tengah kehidupan yang sering kali diwarnai konflik.
Sejarah Nabi menunjukkan bahwa beliau bukan hanya pembawa wahyu, melainkan sosok pemimpin yang menghadirkan kedamaian dan persaudaraan.
Di masyarakat yang penuh pertikaian, Nabi menampilkan jalan damai sebagai landasan membangun peradaban. Piagam Madinah menjadi contoh nyata: perjanjian sosial-politik yang melindungi keberagaman dan menegakkan keadilan tanpa menebar permusuhan.
Jalan Damai Nabi
Salah satu peristiwa paling monumental adalah Perjanjian Hudaibiyah. Kala itu, umat Islam terpaksa menahan diri untuk tidak melaksanakan umrah. Sekilas, keputusan Nabi menerima syarat Quraisy terasa merugikan.
Namun, di balik itu tersimpan hikmah besar. Rasulullah memilih jalan damai ketimbang emosi sesaat. Kesabaran beliau terbukti lebih strategis, membuka pintu kemenangan yang lebih luas, hingga akhirnya kaum Quraisy masuk Islam berbondong-bondong.
Peristiwa lain juga patut direnungkan. Saat suku Quraisy berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, pertumpahan darah hampir tak terhindarkan.
Namun, kebijaksanaan Nabi menjadi penengah. Dengan solusi sederhana, beliau menyatukan semua suku untuk bersama-sama mengangkat batu suci. Keputusan itu meredakan konflik, menumbuhkan rasa adil, sekaligus menyelamatkan kehormatan banyak pihak.
Relevansi Bagi Indonesia
Keteladanan Rasulullah dalam menegakkan damai dan persatuan amat relevan bagi kehidupan kita hari ini. Indonesia, dengan kemajemukannya, sering menghadapi ketegangan politik, pertarungan kepentingan, bahkan godaan sektarianisme.
Sayangnya, perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat justru kadang dipertajam hingga memecah belah.
Di sinilah teladan Nabi harus hadir. Beliau mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan untuk memperkuat ego pribadi atau golongan, melainkan amanah untuk menumbuhkan maslahat, keadilan, dan rasa persaudaraan.
Ketika pemimpin memilih jalan damai, merangkul semua pihak, dan menumbuhkan rasa percaya, maka bangsa akan berdiri lebih kokoh.
Momentum Maulid
Refleksi Maulid semestinya menggerakkan umat Islam agar menghadirkan wajah Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Bukan wajah yang keras dan penuh permusuhan, melainkan Islam yang menentramkan, menyatukan, dan menebar kasih sayang.
Indonesia memerlukan semangat seperti itu. Bangsa ini hanya bisa maju bila kita menghindari polarisasi yang melelahkan. Kita harus belajar dari Nabi: menahan diri, memilih dialog, dan menempatkan kepentingan bersama di atas ego pribadi maupun kelompok.
Mari jadikan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai momentum untuk memperkuat persaudaraan, merawat perdamaian, dan membangun peradaban luhur. Dengan spirit Nabi yang menyatukan, kita dapat meneguhkan Indonesia sebagai rumah bersama yang damai, adil, dan bermartabat.
Oleh : Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir,M.Si., Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah