Sorotan.co.id – Bung Karno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, bukan sekadar sosok historis. Ia adalah simbol pemikiran besar, keberanian, dan semangat membangun bangsa. Dalam pidato, tulisan, dan tindakannya, Bung Karno meninggalkan warisan yang bukan hanya penting untuk dikenang — tetapi harus dihidupkan, terutama di era digital seperti sekarang.
Namun pertanyaannya: bagaimana cara menghidupkan warisan Bung Karno di tengah generasi yang lebih akrab dengan TikTok daripada teks pidato? Bagaimana memaknai semangatnya dalam dunia yang lebih sibuk dengan algoritma dan konten viral?
Jawabannya tidak terletak pada sekadar membagikan kutipan Bung Karno atau memasang fotonya sebagai wallpaper. Warisan Bung Karno adalah tentang gagasan besar dan aksi nyata — yang justru semakin relevan di era sekarang, jika kita tahu bagaimana menerjemahkannya.
Nasionalisme yang Cerdas dan Inklusif
Salah satu warisan terpenting Bung Karno adalah nasionalisme. Tapi nasionalisme versi beliau bukan sempit, bukan chauvinistik, dan tidak menjadikan perbedaan sebagai ancaman. Ia bicara tentang nasionalisme yang menyatukan, yang mengakui keberagaman sebagai kekuatan.
Di era digital, nasionalisme seharusnya tidak berhenti pada simbol dan jargon. Nasionalisme kita diuji saat kita menghadapi hoaks, ujaran kebencian, dan politik identitas yang memecah belah. Di sinilah warisan Bung Karno harus dihidupkan: nasionalisme yang cerdas, inklusif, dan membangun peradaban.
Kita bisa mulai dari hal sederhana: menyebarkan konten yang mendidik, bukan memecah. Menolak disinformasi yang memperkeruh suasana. Dan, yang paling penting, menjadikan cinta tanah air sebagai motivasi untuk berkontribusi — bukan hanya berteriak.
Kemandirian dan Berdikari di Era Ekonomi Digital
Bung Karno pernah berkata, “Kita tidak ingin menjadi bangsa kuli. Kita ingin menjadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.” Prinsip berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) bukan hanya soal ekonomi negara, tapi juga mentalitas generasi.
Di tengah era digital saat ini, prinsip berdikari bisa diterjemahkan ke dalam banyak hal. Contohnya:
Mengembangkan produk lokal melalui e-commerce.
Mendorong UMKM masuk ke pasar digital.
Menghindari ketergantungan berlebihan pada platform asing tanpa membangun teknologi sendiri.
Anak muda bisa menghidupkan semangat berdikari ini dengan menjadi kreator, inovator, dan produsen — bukan hanya konsumen pasif teknologi. Bung Karno ingin kita merdeka bukan hanya secara politik, tapi juga dalam ekonomi dan budaya. Era digital justru memberi ruang luas untuk itu.
Gotong Royong: Dari Lapangan ke Platform
Gotong royong bukan hanya tradisi, tapi falsafah hidup bangsa yang selalu Bung Karno angkat. Ia meyakini bahwa kekuatan bangsa ini terletak pada solidaritas, kebersamaan, dan semangat saling bantu.
Di era digital, gotong royong bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk:
Kolaborasi kreatif antar pemuda.
Penggalangan dana sosial (crowdfunding) untuk bantuan bencana.
Komunitas digital yang saling berbagi ilmu dan kesempatan.
Jangan anggap gotong royong hanya terjadi saat kerja bakti di kampung. Saat kamu bantu promosi usaha temanmu di Instagram, saat kamu gabung dalam gerakan sosial online, atau saat kamu relawan digital dalam edukasi publik — itulah gotong royong era baru.
Menghidupkan Pancasila, Bukan Sekadar Menghafalnya
Bung Karno adalah penggali Pancasila. Tapi Pancasila bukan sekadar lima sila di buku teks. Ia adalah nilai hidup. Bung Karno menggambarkan Pancasila sebagai dasar negara yang hidup dan dinamis, bukan mati dalam seremoni.
Di era digital, Pancasila sering direduksi jadi slogan. Padahal tantangan kita sekarang justru semakin besar: intoleransi digital, politik kebencian, dan krisis etika bermedia.
Menghidupkan Pancasila berarti:
Menolak ujaran kebencian atas nama agama atau ras.
Mempromosikan keadilan sosial dan kesetaraan di ruang digital.
Menggunakan media sosial untuk menyuarakan kebenaran, bukan kepentingan sempit.
Bung Karno ingin Pancasila menjadi pedoman hidup, bukan sekadar hafalan upacara. Maka mari kita buktikan bahwa generasi digital pun bisa menjadi penjaga nilai, bukan perusaknya.
Pemuda Sebagai Agen Perubahan
“Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia,” begitu kata Bung Karno. Ia percaya bahwa pemuda adalah kunci perubahan. Bukan karena usia muda itu hebat secara otomatis, tapi karena di tangan pemuda-lah gagasan bisa lahir dan dijalankan dengan semangat.
Hari ini, kita punya senjata yang bahkan Bung Karno belum pernah bayangkan: internet. Tapi dengan kekuatan itu datang tanggung jawab.
Apakah kita hanya akan jadi generasi pengeluh online? Atau generasi pencipta perubahan?
Apakah kita hanya jadi pemuja algoritma? Atau jadi penulis sejarah digital?
Jika Bung Karno hidup di masa sekarang, mungkin ia tidak hanya berpidato di podium — tapi juga di TikTok, podcast, YouTube, bahkan Twitter/X. Tapi yang pasti: pesannya tetap sama — bangun bangsa ini dengan gagasan dan kerja keras.
Dari Meme Menjadi Gerakan
Menghidupkan warisan Bung Karno di era digital bukan sekadar soal gaya. Bukan sekadar konten viral atau mengenang pidatonya tiap 17 Agustus. Ini soal memaknai gagasannya dan menjadikannya nyata dalam kehidupan kita hari ini.
Nasionalisme, kemandirian, gotong royong, Pancasila, dan peran pemuda — semuanya masih sangat relevan. Tapi tidak akan hidup jika kita hanya mengulang-ulangnya tanpa aksi.
Generasi digital bukan berarti generasi yang tercerabut dari sejarah. Justru kita punya peluang luar biasa: mengangkat warisan Bung Karno ke panggung dunia, lewat konten, inovasi, dan gerakan nyata.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”
Tapi bangsa yang maju, adalah bangsa yang menghidupkan ide-idenya.
Penulis : Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PuSIP) & Ketua Forum Dosen Indonesia ( FoRDESI)
Editor : Redaksi