Sorotan.co.id – Ketika rakyat berteriak, pejabat diam. Ketika rakyat berjuang, wakilnya menghilang. Ironi politik ini kembali mencuat, dan kali ini, kita belajar dari Pati.
Beberapa waktu lalu, warga Pati, Jawa Tengah, turun ke jalan. Mereka berjuang mempertahankan ruang hidup, tanah kelahiran, dan masa depan anak cucu mereka. Isu pembangunan pabrik semen, proyek PLTU, atau tambang yang mengancam lingkungan dan kehidupan sosial-ekonomi rakyat telah menyulut gelombang perlawanan dari bawah. Di tengah terik matahari, mereka membawa spanduk, poster, dan suara-suara lantang yang menggambarkan kegelisahan dan rasa dizalimi. Namun sayangnya, satu suara justru tak terdengar: suara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah—DPRD.
Pertanyaannya: untuk siapa DPRD berdiri? Siapa yang mereka wakili? Bukankah mereka dipilih melalui proses demokratis, dengan janji menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah?
Namun dalam banyak kasus, termasuk di Pati, yang kita saksikan justru kebisuan. Ketika rakyat dipukul dengan kebijakan yang tak berpihak, ketika penguasa lokal lebih memilih melayani kepentingan investor daripada konstituennya sendiri, DPRD seolah menepi. Mereka tidak berdiri bersama rakyat, bahkan terkesan menjadi bagian dari kekuasaan yang tengah menggilas. Tumpul terhadap kekuasaan, tapi tajam terhadap rakyat. Diam saat rakyat ditindas, tapi bersuara saat menyangkut kepentingan sendiri. Bukankah ini yang disebut sebagai kebutaan dan ketulian politik?
Representasi yang Palsu
Fungsi utama DPRD dalam sistem demokrasi adalah sebagai perwakilan rakyat di daerah. Mereka bertugas mengawasi jalannya pemerintahan, membuat peraturan daerah, dan menyuarakan aspirasi rakyat. Tetapi dalam praktiknya, banyak DPRD yang justru berubah menjadi alat kekuasaan, bukan pengontrol kekuasaan. Mereka tidak lagi menjadi oposisi dalam sistem, melainkan menjadi bagian dari sistem yang mengabaikan rakyat.
Dalam kasus Pati, masyarakat tak sekadar meminta belas kasihan. Mereka menuntut hak mereka: hak atas lingkungan yang bersih, hak atas tanah yang diwariskan turun-temurun, hak untuk hidup. Ketika semua pintu formal tertutup, mereka melakukan aksi-aksi damai, menggugat melalui jalur hukum, bahkan membuka ruang dialog. Tapi semua itu seperti menabrak tembok. DPRD seharusnya menjadi garda depan untuk membawa suara rakyat ini ke ruang-ruang kekuasaan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: mereka absen.
Kita harus bertanya: apakah DPRD ini benar-benar hasil dari demokrasi, ataukah hasil dari sistem elektoral yang cacat? Banyak anggota DPRD yang terpilih bukan karena kualitas, integritas, atau keberpihakan pada rakyat, tetapi karena kekuatan uang, mesin partai, dan popularitas semu. Ketika sudah duduk di kursi empuk, mereka lupa siapa yang mengangkat mereka.
Budaya Politik yang Korosif
Fenomena ini bukan hanya persoalan individu, tapi juga sistemik. Budaya politik kita telah lama dikotori oleh kepentingan pragmatis. Banyak anggota DPRD yang lebih takut kehilangan dukungan elite atau partai daripada kehilangan dukungan rakyat. Mereka lebih peduli pada relasi dengan bupati atau gubernur daripada dengan konstituen di daerah pemilihannya. Maka tak heran jika mereka memilih diam saat rakyat menjerit.
Ironinya, ketika rakyat menuntut keadilan, yang mereka hadapi bukan hanya pengusaha atau pemerintah eksekutif, tetapi juga para wakil rakyat sendiri. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung, malah menjadi tameng bagi kekuasaan. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Belajar dari Gerakan Akar Rumput
Namun dari Pati kita juga belajar bahwa kekuatan sejati ada di tangan rakyat. Ketika institusi formal gagal, rakyat bergerak. Mereka menyuarakan aspirasi melalui unjuk rasa, advokasi hukum, kampanye media sosial, hingga membangun solidaritas lintas wilayah. Inilah bentuk nyata demokrasi partisipatif, yang tumbuh dari bawah.
Gerakan seperti ini harus terus didukung dan diperluas. DPRD yang apatis tidak boleh menjadi penghalang. Justru harus menjadi pemicu bagi rakyat untuk terus mengawasi, mengkritik, dan mendesak perubahan sistemik. Jangan lagi menyerahkan nasib pada politisi yang hanya ingat rakyat saat kampanye. Saatnya rakyat bangkit menjadi kekuatan politik yang independen, cerdas, dan berdaya.
Politik Harus Kembali ke Rakyat
Apa gunanya DPRD jika tidak berdiri bersama rakyat? Untuk apa kursi perwakilan jika tidak menjadi suara mereka yang terpinggirkan? Demokrasi sejati bukan sekadar soal pemilu lima tahun sekali, tapi tentang keterlibatan terus-menerus rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Jika DPRD tidak mampu menjalankan fungsinya, maka rakyat harus siap mengambil alih ruang-ruang partisipasi.
Kasus di Pati bukanlah yang pertama, dan pasti bukan yang terakhir. Tapi dari sanalah kita bisa belajar bahwa harapan perubahan tidak bisa terus digantungkan pada para elite. Ia harus dibangun dari bawah, oleh rakyat, untuk rakyat. Dan ketika para wakil rakyat lupa jati dirinya, biarlah suara rakyat yang kembali mengingatkan: kalian dipilih untuk berpihak, bukan bersembunyi.
Oleh: [Gus Dr. Sholikh Al Huda]
Ketua Pusat Forum Dosen Indonesia (ForDESI) & Pendukung Perjuangan Rakyat Pati
Editor : Redaksi