Opini Sorotan.co.id
Di negeri +62, kursi parlemen sudah lama jadi panggung. Bedanya, kalau dulu panggung politik penuh orasi serius dan debat ideologi, kini panggung itu makin mirip studio televisi: ada cahaya lampu, ada penonton, ada tepuk tangan, ada drama. Kadang saya bingung, ini DPR atau Indonesian Idol?
Kasus Uya Kuya yang sempat mencuri perhatian publik hanya menambah daftar panjang “wakil rakyat rasa seleb.” Sebelum Uya, ada Eko Patrio. Sebelum Eko, ada sederet nama artis lain yang sukses melenggang ke Senayan. Pertanyaannya: apakah mereka mewakili rakyat, atau sekadar mewakili rating?
Dari Panggung Hiburan ke Gedung Parlemen
Mari kita jujur. Rakyat Indonesia memang gampang baper sama yang sering nongol di televisi. Logikanya sederhana: kalau di TV aja bisa bikin ketawa, apalagi di Senayan—pasti bisa bikin bahagia. Padahal, politik bukan sitkom, rapat anggaran bukan acara prank show.
Eko Patrio, misalnya. Dari panggung lawak Patrio, ia lompat ke kursi DPR. Uya Kuya, yang dikenal dengan aksi sulap dan prank, mencoba masuk ke jalur yang sama. Fenomena ini bukan sekadar lucu-lucuan, tapi refleksi getir kualitas wakil rakyat yang makin hari makin sulit dipertahankan.
Sebab, ternyata jadi anggota dewan di negeri ini tak selalu butuh visi besar. Kadang cukup bermodal popularitas, lalu sisanya tinggal belajar akting politik: mengangguk saat rapat, menyindir saat diwawancara, dan selfie saat sidang paripurna.
Dramatugi Politik: Senayan sebagai Panggung
Kalau pakai kacamata sosiolog Erving Goffman dengan teori dramaturgi, politik di Senayan itu sebenarnya tidak jauh beda dengan panggung teater. Ada front stage (panggung depan) tempat wakil rakyat tampil dengan kostum rapi, pidato gagah, atau gaya kritis yang diatur sedemikian rupa. Semua demi penonton: rakyat, media, dan pemilih.
Sementara ada back stage (panggung belakang) yang jarang terlihat. Di balik layar, seringkali justru terjadi kompromi, lobi, bahkan jual-beli suara. Jadi ketika kita menonton anggota dewan marah-marah di depan kamera, jangan buru-buru percaya itu ekspresi tulus. Bisa jadi hanya akting, bagian dari naskah besar drama politik.
Nah, artis seperti Uya Kuya dan Eko Patrio makin menegaskan logika dramaturgi ini. Mereka memang sudah terlatih hidup di panggung hiburan. Peran tinggal diganti: dulu sebagai pelawak atau pesulap, kini sebagai wakil rakyat. Bedanya tipis, karena yang dipertontonkan sama: pencitraan.
Demokrasi sebagai Reality Show
Kalau ditarik lebih jauh, demokrasi kita makin mirip reality show. Pemilu jadi semacam audisi besar. Partai politik bertindak sebagai produser, artis dan politisi sebagai talent, rakyat sebagai penonton sekaligus pemberi voting. Bedanya, kalau di TV penonton bisa protes kalau acaranya busuk, di demokrasi kita rakyat hanya bisa pasrah empat atau lima tahun sekali.
Dramaturgi politik ini membuat kualitas wakil rakyat sulit diukur dari kinerja nyata. Yang lebih kelihatan justru performance-nya: siapa yang paling rajin muncul di media, siapa yang paling jago bikin drama di sidang paripurna, siapa yang paling “relatable” di TikTok.
Dengan kerangka ini, wajar kalau artis gampang masuk politik. Mereka sudah punya modal utama: kemampuan tampil di panggung depan. Soal isi? Bisa dipelajari nanti, atau bahkan bisa ditutupi dengan tim script writer politik.
Rakyat sebagai Penonton Setia
Masalahnya, yang jadi korban tetap rakyat. Kita sering memilih berdasarkan pesona, bukan kapasitas. Kita terbuai janji manis artis idola, padahal yang kita butuhkan adalah legislator yang paham undang-undang, bukan undangan tampil di acara televisi.
Rakyat yang awalnya berharap, akhirnya hanya bisa mengelus dada. “Oh, ternyata yang kita pilih bukan penyelamat bangsa, tapi pemain peran.” Yang lebih tragis, rakyat tetap sabar, seolah-olah terjebak dalam sindrom: lebih baik punya wakil yang lucu daripada yang serius tapi tak peduli.
Komedi Paripurna yang Tak Pernah Usai
Maka jangan kaget kalau DPR makin sering terasa seperti panggung hiburan. Di front stage mereka tampil seolah pahlawan rakyat. Di back stage mereka sibuk memainkan peran untuk rating politik. Rakyat? Lagi-lagi cuma jadi penonton setia, meski sering bosan dengan cerita yang itu-itu saja.
Sampai titik ini, kita mungkin harus akui: dramaturgi politik di Indonesia memang sukses besar. Bedanya dengan teater biasa, drama ini tidak pernah benar-benar selesai. Paripurna demi paripurna hanyalah episode baru dari komedi panjang bernama demokrasi.
Oleh : Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil.I
Ketua Pusat Forum Dosen Indonesia ( FoRDESI)
Editor : Redaksi