Sorotan.co.id – Kampus, secara ideal, adalah tempat suci di mana ilmu pengetahuan tumbuh, berkembang, dan dibela mati-matian. Tapi di Indonesia, kampus sering lebih mirip pasar gelap. Bukan hanya jual beli gorengan di kantin, tapi juga jual beli skripsi, gelar, sampai riset yang katanya “ilmiah” tapi hasil jiplak sana-sini. Miris? Jelas. Memalukan? Banget. Ironis? Sudah pasti.
Lucunya, kampus itu sering disebut sebagai “menara gading” tempat para intelektual berkumpul. Tapi kalau menaranya dibangun dari hasil plagiarisme dan disertasi daur ulang, ya jangan salahkan kalau lama-lama rubuh sendiri.
Ketika Plagiarisme Jadi Tradisi
Plagiarisme di kampus Indonesia itu bukan lagi aib tersembunyi. Udah kayak rahasia umum yang semua orang tahu tapi pura-pura gak tahu. Bahkan beberapa rektor—iya, rektor, bosnya kampus—pernah dituduh menjiplak karya mahasiswanya sendiri.
Contohnya Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES), yang disertasinya dituding ngopi mentah-mentah dari skripsi anak bimbingannya. Atau Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), yang sempat heboh karena publikasinya terindikasi “self-plagiarism”. Karya lama dipoles dikit, ganti judul, kirim ulang ke jurnal. Trik lama.
Yang bikin greget, banyak dari mereka tetap menjabat, tetap dihormati, tetap dibanggakan. Negara ini memang suka ngasih panggung buat orang yang harusnya udah turun tirai.
Kenapa Bisa Begini? Ya Karena Sistemnya Nanggung
Jangan buru-buru salahin individu. Ini bukan cuma soal moral pribadi, tapi soal sistem yang memang setengah matang.
Budaya akademiknya lemah.
Di beberapa kampus, etika ilmiah itu kayak materi PPKn waktu SD: dibaca, dihafal, lalu dilupakan. Mahasiswa diajarin cara cari referensi, tapi gak diajarin pentingnya jujur dalam menulis. Dosen disuruh publikasi tiap semester, tapi gak dikasih waktu riset yang layak.
Publikasi jadi formalitas.
Dosen butuh poin untuk naik jabatan. Mahasiswa butuh skripsi buat lulus. Ujung-ujungnya: copas jalan terus. Yang penting PDF siap dicetak, bukan kualitas isi.
Kampus dikelola kayak perusahaan.
Akreditasi, ranking, dan indikator kuantitatif lebih penting dari mutu keilmuan. Ngelulusin banyak mahasiswa? Mantap. Nambah jurnal? Hebat. Soal isinya nyontek? Ah, itu urusan belakang.
Jual Beli Gelar: Kampus atau Marketplace?
Belakangan, kita juga lihat maraknya jual beli gelar, entah itu sarjana, master, atau doktor. Ada yang selesai S3 cuma dalam waktu satu tahun. Ada juga yang gelarnya “muncul tiba-tiba”, padahal sebelumnya sibuk jadi pejabat.
Ini bukan sinetron. Ini nyata.
Apa Dampaknya? Ya Parah, Bro
Kalau disintegritas ini dibiarkan, hasilnya bukan cuma buruk di dunia akademik. Kita bakal punya lulusan yang pinter presentasi, tapi gak ngerti apa yang dia omongin. Kita bakal punya dosen yang suka ngajar etika penelitian, tapi dia sendiri gak pernah riset. Kita bakal punya pejabat yang gelarnya panjang, tapi pikirannya cetek.
Dan lebih bahayanya lagi: kebohongan jadi normal. Masyarakat gak lagi percaya sama akademisi. Ilmu jadi kehilangan martabatnya.
Gak Bisa Cuma Ceramah: Solusi Konkret
Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar himbauan atau surat edaran. Kampus harus punya keberanian buat bersih-bersih rumah sendiri. Pecat dosen yang curang. Tindak mahasiswa yang beli skripsi. Bongkar sistem penilaian yang toxic. Dan yang paling penting: bangun budaya akademik yang sehat dari awal, bukan pas ujian doang.
Karena kalau kampus gak bisa jaga integritas, siapa lagi?
Kita boleh bangga punya ribuan kampus, tapi kalau isinya cuma fotokopi berjilid-jilid tanpa makna, ya mending buka rental printer sekalian. Karena pendidikan tanpa integritas cuma akan menghasilkan gelar, bukan kualitas.
Oleh : Oleh: Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Tentang Penulis:
Presidium Nasional Forum Dosen Indonesia (FoRDESI) & Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PuSIP) Sekolah Pascasarjana UM Surabaya
Editor : Redaksi