Sorotan.co.id – Di Kabupaten Pati, suara-suara kecil mulai menggema menjadi gelombang perlawanan. Rakyat yang biasanya diam, kini bicara. Yang biasanya menunduk, kini berdiri tegak. Mereka menolak kebijakan daerah yang dinilai menyengsarakan dan mencederai keadilan sosial. Bukan karena ingin membuat gaduh. Tapi karena hidup mereka dipertaruhkan.
Bupati Pati dan jajaran pemerintahannya akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasi, melainkan karena kebijakan yang dinilai sembrono dan menindas. Salah satu yang paling mencolok adalah kebijakan pajak yang tak berpihak kepada rakyat kecil. Pajak bumi dan bangunan (PBB) yang naik tajam, retribusi pasar yang mencekik, hingga penataan wilayah yang mengabaikan hak hidup masyarakat.
Rakyat Pati, yang sebagian besar adalah petani, pedagang kecil, dan buruh harian, merasakan langsung dampak kebijakan ini. Ketika pendapatan makin seret, harga kebutuhan melonjak, dan lapangan kerja kian sempit, mereka malah dibebani pungutan yang tidak masuk akal. Dalam situasi seperti ini, wajar jika masyarakat akhirnya melawan.
Kekuasaan yang Melupakan Tujuannya
Dalam catatan filsafat politik Islam, kekuasaan adalah amanah yang hakikatnya harus diabdikan untuk kemaslahatan umum. KH. Sahal Mahfudh, ulama besar asal Pati, menggarisbawahi pentingnya orientasi maslahah ‘ammah—yakni kebijakan yang benar-benar berpihak kepada kesejahteraan rakyat banyak. Kekuasaan bukan alat menumpuk pemasukan dengan mengorbankan masyarakat kecil.
Menurut Kiai Sahal, maslahah bukan sekadar legalitas hukum, tetapi mencakup dimensi etika dan kemanusiaan. Sebuah kebijakan, meskipun sah secara administratif, akan kehilangan legitimasi moral jika melukai kehidupan rakyat. Apalagi jika kebijakan tersebut dibuat tanpa proses dialog, tanpa mendengarkan jeritan masyarakat.
Di sinilah problem utama kepemimpinan otoriter bermula: ketika pemimpin merasa tahu segalanya dan rakyat dianggap tidak tahu apa-apa. Ketika pemimpin membungkam kritik dengan kekuasaan, bukan menjawabnya dengan solusi.
Nurani yang Tumpul
Kita patut bertanya: di mana nurani pemimpin daerah ketika rakyatnya menderita? Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa tenang, sementara warganya harus memilih antara membayar pajak atau memberi makan anak-anaknya?
Tindakan seperti ini bukan hanya gagal secara kebijakan, tapi juga secara moral. Ketika rakyat kecil harus menjerit karena keputusan pemimpinnya sendiri, maka yang hilang bukan hanya keadilan, tapi juga rasa kemanusiaan.
Kepekaan sosial adalah salah satu pilar utama dalam ajaran Islam yang menjadi fondasi pemikiran Kiai Sahal. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut membuat aturan, tetapi juga dituntut mampu membaca realitas sosial dan mengambil keputusan yang berpihak kepada yang lemah. Kepemimpinan yang tidak berangkat dari empati hanya akan melahirkan kedzaliman yang dibungkus legalitas.
Rakyat Bukan Musuh, Tapi Amanah
Perlawanan rakyat bukan bentuk makar. Mereka tidak menginginkan kekacauan. Mereka hanya ingin hidup layak. Maka, menstigma rakyat yang melawan sebagai pembuat onar atau anti-pemerintah adalah bentuk pengingkaran terhadap aspirasi demokrasi.
Dalam demokrasi sejati, suara rakyat adalah koreksi moral terhadap kekuasaan. Mereka adalah pengingat, bahwa kursi jabatan bukanlah singgasana absolut, melainkan tempat mengabdi. Jika pemimpin tidak siap dikritik, lebih baik tidak memegang kekuasaan.
Di Pati, fenomena rakyat melawan adalah bentuk dari kesadaran baru. Mereka mulai memahami bahwa kebijakan publik harus diuji, ditimbang, dan dikritisi. Mereka menolak diperlakukan sebagai objek pembangunan, dan mulai menuntut haknya sebagai subjek politik.
Kembali ke Jalan Kemaslahatan
Kepada para pemimpin daerah, khususnya di Pati, inilah saatnya menundukkan ego. Dengarkan rakyatmu. Kebijakan yang melukai harus dikoreksi, bukan dipaksakan. Jangan tunggu sampai kepercayaan publik benar-benar habis.
Ingatlah pesan KH. Sahal Mahfudh: kemaslahatan umum lebih utama daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Jangan jadikan rakyat sebagai tumbal ambisi politik atau target pemasukan. Pemerintah hadir untuk melindungi, bukan menekan. Melayani, bukan menguasai.
Jika pemimpin masih punya hati, maka kembalilah ke suara rakyat. Dan jika hati itu telah mati, maka rakyatlah yang akan menghidupkannya kembali dengan suaranya, dengan keberaniannya, dengan perjuangannya.
Oleh: Gus Dr. Sholikh Al Huda
Ketua Ranting Muhammadiyah Desa Masangan Wetan Sidoarjo Indonesia
Editor : Redaksi