Sorotan.co.id – Pernyataan Yusuf Kalla, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), bahwa masjid harus menjadi corong perdamaian bukan sekadar corong adzan, patut dibaca secara strategis di tengah meningkatnya gejolak sosial. Pernyataan ini disampaikan JK saat pelantikan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Jawa Timur periode 2025–2030 pada 6 September 2025 di Islamic Center Surabaya, yang dihadiri pengurus DMI se-Jawa Timur, perwakilan ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta tokoh masyarakat.
Ungkapan tersebut hadir bukan dalam ruang hampa, melainkan di tengah situasi bangsa yang kembali diwarnai anarkhisme, penjarahan, dan kerusakan fasilitas publik akibat demonstrasi menolak kebijakan DPR yang dinilai lebih mengutamakan kepentingan elit dibanding rakyat.
Masjid dalam Dinamika Sosial-Politik
Masjid bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga pusat komunitas umat. Sejarah Islam mencatat, masjid pada masa Nabi Muhammad Saw. berfungsi sebagai pusat pendidikan, ruang musyawarah, dan basis konsolidasi sosial. Oleh karena itu, penekanan JK agar masjid menjadi corong perdamaian merupakan upaya mengembalikan masjid pada peran integralnya: membentuk kesadaran publik yang berkeadaban.
Di tengah polarisasi politik dan gejolak demonstrasi, masjid berpotensi menjadi penyejuk, bukan penyulut. Jika masjid hanya dibatasi pada fungsi ritual semata“sekadar corong adzan” ia kehilangan daya strategisnya dalam membangun tatanan sosial yang damai.
Anarkhisme dan Krisis Kepercayaan
Demonstrasi yang berujung pada anarkhisme, penjarahan, bahkan pembakaran fasilitas publik, adalah gejala dari krisis kepercayaan rakyat kepada wakilnya di DPR. Ketika kebijakan lebih menguntungkan elite politik dan oligarki, publik merasa kehilangan saluran aspirasi. Akumulasi kekecewaan itu mudah meledak menjadi aksi massa yang tak terkendali.
Namun, di titik inilah masjid memiliki peran strategis. Masjid dapat menjadi ruang artikulasi damai bagi aspirasi publik, sekaligus arena edukasi politik yang berlandaskan nilai moral dan spiritual. Dengan khotbah, pengajian, atau forum musyawarah, masjid dapat mengajarkan cara-cara menyalurkan kritik tanpa merusak tatanan sosial.
Masjid sebagai Corong Perdamaian
Menjadi corong perdamaian berarti masjid berfungsi menyuarakan tiga hal penting:
Pertama, Etika Politik Umat.
Masjid harus menjadi tempat penanaman etika politik yang berlandaskan keadilan dan kemaslahatan. Kritik terhadap kebijakan DPR boleh saja keras, namun harus tetap dalam bingkai konstitusi dan akhlak Islami.
Kedua, Penyaring Narasi Kekerasan.
Di tengah derasnya informasi di media sosial, masjid dapat menjadi filter wacana yang menolak narasi kebencian, provokasi, dan ajakan kekerasan. Imam dan takmir masjid perlu memproduksi narasi alternatif: damai, beradab, dan solutif.
Ketiga, Mediator Sosial.
Masjid bisa menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah. Forum-forum masjid yang rutin diadakan bisa menampung keresahan warga dan meneruskannya secara konstruktif kepada pihak berwenang, sehingga aspirasi tidak hanya berhenti di jalanan.
Strategi Konkret Menjadikan Masjid Damai
Agar pernyataan Yusuf Kalla tidak berhenti sebagai jargon, perlu langkah strategis:
Pertama, Pelatihan khatib dan dai untuk membawakan khutbah yang mencerahkan, dengan perspektif sosial-politik yang sejuk.
Kedua, Program literasi sosial di masjid, misalnya diskusi kebijakan publik, kajian ekonomi rakyat, hingga edukasi hukum.
Ketiga, Kolaborasi masjid dengan ormas dan lembaga negara, agar tercipta kanal aspirasi yang lebih efektif.
Keempat, Penguatan fungsi sosial-ekonomi masjid, seperti koperasi atau BMT masjid, untuk menjawab akar ketidakpuasan publik berupa kesenjangan ekonomi.
Masjid Pusat Peradaban
Di tengah kekecewaan rakyat terhadap DPR dan maraknya aksi anarkis, pernyataan Yusuf Kalla di Surabaya harus dipahami sebagai panggilan moral: masjid jangan hanya bersuara pada waktu adzan, tetapi juga harus menyuarakan nilai perdamaian, keadilan, dan keberadaban.
Masjid adalah ruang publik yang sakral, tempat masyarakat bertemu dalam kesetaraan. Jika masjid mampu mengartikulasikan aspirasi rakyat secara damai, ia akan menjadi benteng terakhir dari demokrasi yang beradab.
Dengan demikian, tafsir strategis dari pernyataan JK adalah mengembalikan masjid sebagai pusat pembentukan etika sosial-politik bangsa. Masjid yang hidup bukan sekadar corong ritual, tetapi corong perdamaian yang menyejukkan hati, menyalakan akal sehat, dan membimbing umat menuju tatanan sosial yang adil dan berkeadaban.
Oleh: Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
(Anggota Departemen ZIS Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Jawa Timur
Editor : Redaksi