Belajar dari Kasus Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Hilangnya Tasawuf Politik
Sorotan.co.id – Kemarahan publik terhadap DPR kembali menggelegar. Media sosial riuh dengan nama-nama yang tak asing: Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, hingga Nafa Urbach. Mereka bukan sekadar artis, pesohor, atau crazy rich yang merambah dunia politik. Mereka adalah simbol betapa DPR makin hari makin jauh dari denyut rakyat, dan semakin dekat dengan panggung hiburan serta etalase glamor.
Fenomena ini menyodorkan ironi besar: lembaga negara yang seharusnya menjadi rumah aspirasi, malah tampak seperti panggung selebritas. Politik berubah jadi tontonan, bukan lagi tuntunan.
Politik Jadi Hiburan Murahan
Keterlibatan figur publik semacam Eko Patrio atau Uya Kuya menunjukkan bagaimana popularitas lebih penting daripada kapasitas. Bagi partai, artis adalah mesin suara instan. Bagi artis, politik adalah panggung baru untuk menjaga eksistensi. Ahmad Sahroni hadir dengan citra crazy rich yang melekat, sementara Nafa Urbach tampil membawa aura selebriti.
Namun, apa yang rakyat lihat? Kekosongan substansi. Alih-alih memperjuangkan suara rakyat, yang tampil adalah parade pencitraan. Politik diperlakukan layaknya program televisi: penuh gimik, minim substansi.
Rakyat Bersatu, DPR Bisa Tumbang
Sejarah Indonesia memberi pelajaran jelas: ketika rakyat bersatu, kekuasaan sehebat apapun bisa tumbang. Dari kejatuhan Orde Lama, runtuhnya Orde Baru, hingga gelombang reformasi—semua bermula dari akumulasi kekecewaan rakyat yang menumpuk dan akhirnya meledak.
Kini, DPR menghadapi gejala serupa. Kepercayaan publik terus merosot. Skandal demi skandal, korupsi berjamaah, hingga kebijakan kontroversial memperlebar jarak dengan rakyat. Media sosial menjadi kanal baru tempat rakyat bersatu. Satu suara kritik bisa menggema jutaan kali lipat.
Di titik ini, DPR perlu sadar: rakyat yang marah tidak bisa dibungkam dengan gimik, tidak bisa diredam dengan pencitraan.
Hilangnya Tasawuf Politik
Apa yang hilang dari politik kita hari ini? Jawabannya: tasawuf politik.
Tasawuf, dalam tradisi Islam, adalah jalan menuju kerendahan hati, kesadaran fana, dan kepasrahan bahwa dunia hanyalah titipan. Jika nilai tasawuf hadir dalam politik, maka kekuasaan akan dipandang sebagai amanah, bukan sebagai ajang pamer.
Imam al-Ghazali pernah menegaskan bahwa “kekuasaan tanpa agama akan menjadi tirani, dan agama tanpa kekuasaan akan lumpuh.” Artinya, politik membutuhkan ruh spiritual agar tidak kehilangan arah.
Begitu pula Jalaluddin Rumi yang pernah menulis: “Kekuasaan sejati adalah kuasa untuk melayani, bukan kuasa untuk berkuasa.” Kutipan ini menegaskan inti dari tasawuf politik: kekuasaan bukan soal pamer kekayaan atau gengsi, melainkan kerendahan hati untuk mengabdi.
Sayangnya, yang terjadi kini justru kebalikannya. Politik berubah jadi arena transaksional: siapa populer, siapa punya modal, dialah pemenang. Hilangnya tasawuf politik membuat DPR miskin etika, kering empati, dan gemuk oleh kepentingan pragmatis.
Politik dengan Ruh, Bukan Kosmetik
Kita butuh politik yang kembali bernapas, bukan sekadar hidup dari gimik. Politik yang disemangati kesadaran moral, bukan sekadar ambisi personal.
Tasawuf politik bisa menjadi obat. Bukan berarti politisi harus jadi sufi, tetapi menghadirkan nilai kerendahan hati, kesadaran akan keterbatasan, serta keberpihakan tulus pada rakyat.
Bayangkan bila setiap anggota DPR benar-benar merasa dirinya hanya “hamba yang dititipi amanah.” Tentu, mereka tidak akan tega memperkaya diri, mengkhianati janji, atau menutup mata terhadap penderitaan rakyat.
Peringatan Keras, Jadikan Pembelajaran Politik
Kasus Eko Patrio, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, hingga Nafa Urbach hanyalah simbol. Lebih dari itu, ia adalah peringatan keras bagi DPR.
Rakyat tidak lagi bisa ditipu dengan pencitraan. Mereka lebih cerdas, lebih kritis, dan lebih berani bersuara. Bila DPR terus menutup telinga, maka konsekuensinya jelas: rakyat akan bersatu, dan ketika rakyat bersatu, sejarah selalu membuktikan, kekuasaan bisa runtuh seketika.
Saatnya menghidupkan kembali tasawuf politik. Politik yang sederhana, rendah hati, berempati, dan berpihak. Tanpa itu, DPR bukan hanya akan kehilangan legitimasi, tetapi juga kehilangan masa depannya.
Oleh: Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya & Ketua Umum Forum Dosen Indonesia (ForDESI)
Editor : Redaksi