Opini Sorotan.co.id
Sejak zaman pemilu 1955 sampai pemilu 2024, ada satu hal yang konsisten di republik ini: partai Islam selalu ada, tapi belum pernah benar-benar jadi jawara. Mereka ikut, mereka meramaikan, kadang dapat jatah menteri, tapi tetap saja tidak pernah duduk di kursi puncak kekuasaan sebagai pemenang mutlak. Padahal, umat Islam mayoritas, masjid bejibun, pengajian rame, dan jargon “NKRI harga mati” selalu dibumbui kata “berkah Islam”. Lalu, kenapa ya, partai Islam nggak pernah benar-benar menang?
Politik Identitas yang Nggak Solid
Clifford Geertz dulu sudah bilang bahwa Islam di Indonesia itu terbagi: ada santri, abangan, dan priyayi. Walau tipologi itu sekarang sering diperdebatkan, faktanya umat Islam memang nggak satu suara. Ada NU dengan kultur pesantren, ada Muhammadiyah dengan semangat modernis, ada salafi yang keras, ada Islam kota yang gaul, sampai Islam kampus yang sibuk berdebat soal khilafah.
Ketika suara umat Islam sendiri terpecah, partai Islam akhirnya seperti kelompok arisan: rame-rame bikin forum, tapi giliran pemilu, yang hadir cuma setengah, itupun pulangnya bawa kardus kosong. Sementara partai nasionalis sudah lebih dulu bisa menjangkau semua identitas—dari wong cilik sampai crazy rich.
Dilema Ideologi: Syariah vs Pragmatisme
Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Societies menekankan bahwa modernisasi politik sering bikin partai berbasis agama kehilangan momentum, karena terjebak antara “ideologi murni” dan “pragmatisme kekuasaan”.
Di Indonesia, partai Islam punya dilema klasik: mau konsisten mendorong syariah (yang bisa bikin orang non-Muslim kabur), atau ikut arus pragmatis biar dapat suara (tapi jadi nggak ada bedanya dengan partai sekuler). Hasilnya? Serba nanggung.
Kalau kampanye pakai jargon syariah, takut dituduh intoleran. Kalau kampanye pakai jargon nasionalis, umat bertanya: “Lha terus bedanya sama PDI-P apa?” Akhirnya partai Islam seperti orang yang pesan sate kambing tapi takut kolesterol, pesan sop iga tapi ingat asam urat. Serba salah.
Politik Uang dan Oligarki
Chantal Mouffe menulis tentang agonistic politics—bahwa politik modern bukan soal menang total, tapi soal siapa punya narasi dominan. Nah, di Indonesia, narasi dominan belakangan ini ditentukan bukan hanya oleh ideologi, tapi oleh siapa punya duit paling banyak.
Di titik ini, partai Islam jelas kalah telak. Mereka punya modal sosial (santri, jaringan ormas, jamaah), tapi kurang modal finansial. Sementara partai besar punya juragan tambang, taipan, sampai konglomerat BUMN. Ya jelas kalah di medan logistik.
Singkatnya, partai Islam itu rajin subuh berjamaah, tapi lawannya punya amunisi serangan fajar.
Islam Kultural Lebih Menjual
Gus Dur pernah bilang, “Islam jangan dijadikan ideologi, cukup jadi inspirasi.” Dan sepertinya umat Islam di Indonesia lebih sepakat dengan itu. Islam kultural—dakwah, sekolah, rumah sakit, zakat, pengajian—lebih dipercaya ketimbang Islam politik.
Makanya wajar kalau ormas Islam kayak NU atau Muhammadiyah pengaruhnya lebih kuat daripada partai Islam. Jamaah lebih percaya pada kyai yang bagi beras zakat dibanding caleg yang janji bikin perda syariah.
Populisme dan Figur Sentral*
Dalam politik kontemporer, Ernesto Laclau bilang populisme itu seni menciptakan “the people” melawan “the elite”. Nah, partai Islam jarang bisa memproduksi figur populis yang meyakinkan.
Coba bandingkan: Jokowi bukan partai Islam, tapi bisa merangkul NU. Prabowo bukan partai Islam, tapi bisa berslogan “NKRI Bersyariah dalam keadilan sosial” tanpa harus bikin partai Islam. Figur karismatik yang bisa menjembatani Islam dengan nasionalisme lebih dicari ketimbang partai berbasis Islam yang kaku.
Lha partai Islam malah sibuk debat soal siapa lebih saleh, siapa lebih islami, siapa lebih syariah. Ujung-ujungnya pemilih jadi ilfeel.
Faktor Historis
Sejak Orde Baru, partai Islam memang dimarginalkan. PPP dijinakkan, Masyumi dibubarkan, ormas Islam ditekan. Setelah Reformasi, ruang terbuka, tapi partai Islam sudah kehilangan momentum. Sementara partai nasionalis-sekuler lebih lihai menyesuaikan diri dengan demokrasi elektoral.
Akibatnya, meski umat Islam mayoritas, partai Islam cuma jadi pelengkap penderita. Ada sih menteri agama, ada kursi parlemen, tapi selalu lewat koalisi, bukan kemenangan tunggal.
Partai Islam, Partai Abadi tapi Bukan Pemenang
Jadi, kenapa partai Islam nggak pernah menang di Indonesia? Jawabannya sederhana: umat Islam lebih suka Islam kultural ketimbang Islam politik. Ditambah fragmentasi internal, dilema ideologis, minimnya modal finansial, dan kalah bersaing dengan populisme figur nasionalis.
Mungkin partai Islam akan tetap ada, tapi seperti peran figuran di film: nggak pernah jadi aktor utama, tapi tanpa mereka filmnya sepi. Mereka akan terus jadi bagian dari koalisi, ikut mengisi kursi parlemen, tapi tetap bukan pemenang utama.
Ironisnya, justru partai nasionalis lah yang lebih lihai memanfaatkan simbol Islam untuk merebut suara umat. Dari Jokowi pakai sarung ke pesantren sampai Prabowo cium tangan kyai. Semua ini menegaskan bahwa dalam politik kontemporer Indonesia, partai Islam adalah permanen opposition, bukan permanent winner.
Atau dengan istilah: partai Islam itu seperti gebetan lama. Selalu ada, selalu dirindukan, tapi nggak pernah benar-benar dinikahi.
Oleh : Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Ketua Pusat Studi Islam dan Pancasila ( PuSIP) & Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana UM Surabaya
Editor : Redaksi

 
					





 
						 
						 
						 
						