Sorotan.co.id – Setiap kali saya buka berita internasional, kepala ini mendadak cenat-cenut. NASA lagi uji coba bikin perumahan di bulan, Jepang sudah meluncurkan satelit tenaga surya, Korea Selatan riset robot yang bisa menari sambil bikin mie ramen. Sementara itu, headline dari negeri tercinta ini: “DPR Membahas Suara Sound Hajatan”.
Entah harus ketawa atau nangis, tapi sepertinya takdir kita memang unik. Negara lain sibuk mikirin tata ruang angkasa, kita masih rembugan tata suara kampung.
Peradaban Speaker
Jujur, sebagai bangsa, kita memang punya hubungan intim dengan sound system. Dari hajatan mantu, pengajian akbar, hingga lomba karaoke 17-an, sound selalu hadir. Kadang bukan sekadar pelengkap acara, tapi jadi acara itu sendiri.
Pernah suatu kali saya datang ke hajatan. Pengantinnya masih touch up di dalam, tamu sudah pada pulang duluan. Kenapa? Karena sound-nya kelewat sadis. Bayangkan, bass dari dangdut koplo menggetarkan kursi plastik sampai goyang sendiri. Saya sampai berpikir: kalau ada ilmuwan NASA hadir, mungkin dia bakal bilang, “Wow, inilah bentuk asli gempa buatan.”
Dan ajaibnya, kita bisa sabar berjam-jam duduk, sambil telinga terancam tuli. Kalau ada tetangga protes? Wah, siap-siap perang dingin antar-RT. Jadi jangan heran kalau suara speaker bisa sampai ke meja rapat pejabat. Karena bagi kita, sound bukan sekadar bunyi, tapi peradaban.
Negara Lain: Koloni di Bulan, Kita: Koloni di Panggung Dangdut
Coba bandingkan headline berita:
Amerika: “NASA Membuka Cluster Perumahan di Bulan, Harga Mulai 3,5 Juta/M2.”
Jepang: “Robot Baru Diluncurkan, Bisa Masak, Nyapu, dan Ngasih Salam Pagi.”
Indonesia: “Komisi X DPR Bahas Aturan Suara Sound di Desa Sukamakmur.”
Negara lain sudah mikir gimana caranya manusia bisa tinggal di luar bumi. Kita masih mikir gimana caranya tetangga bisa tidur meskipun ada sound hajatan.
Lucunya, kalau ditarik ke level filsafat, sebenarnya kita sama-sama mikirin soal ruang. Mereka ruang angkasa, kita ruang tetangga. Bedanya, di luar angkasa tidak ada orang yang bisa lapor pak RT karena speaker kebesaran.
Startup Sound
Kadang saya mikir, kalau ada anak muda bikin “startup sound” di Indonesia, pasti jadi unicorn. Bayangkan ada aplikasi “Go-Sound”: sewa speaker sesuai suasana hati.
Lagi patah hati? Pilih paket “Sound Melow”: volume kecil, lagu-lagu galau.
Lagi mantu? Paket “Sound Full Bass”: tetangga tiga desa ikut deg-degan.
Lagi kampanye? Paket “Sound Nasionalis”: bisa bikin toa musala kalah pamor.
Investor pasti antre. Karena jujur, pasar sound di Indonesia lebih menjanjikan ketimbang pasar roket.
Politik Tata Suara
Dan yang bikin tambah lucu, soal sound ini sampai masuk meja rapat DPR. Bayangkan, para wakil rakyat yang digaji miliaran, datang ke Senayan, duduk serius, lalu debat dengan kalimat, “Bagaimana kalau sound hajatan dibatasi volumenya, biar nggak ganggu tetangga?”
Kalau ada alien dari planet Mars mendengar, mungkin mereka bingung. “Waduh, ini bumi bagian mana? Masa peradaban isinya rapat soal speaker?” Sementara mereka sudah siap kirim undangan open house ke perumahan lunar.
Lucunya Negeriku
Tapi ya sudahlah, mungkin memang itulah identitas bangsa. Negara lain punya satelit, kita punya toa masjid. Negara lain bikin koloni di bulan, kita bikin panggung dangdut di balai desa. Negara lain pusing mikirin energi nuklir, kita pusing mikirin mic kadang nguing-nguing.
Lucunya, di balik semua itu, kita tetap bahagia. Tetangga yang ribut gara-gara speaker, besoknya bisa baikan lagi pas arisan. RT yang kesal gara-gara hajatan, bisa cair lagi pas makan tumpeng. Mungkin justru di situ letak peradaban kita: rame, ribut, tapi tetap bareng-bareng.
Maka, kalau ada yang bilang bangsa ini ketinggalan jauh dari negara lain, saya cuma jawab santai: “Tenang. Mereka boleh bikin rumah di bulan, tapi coba mereka adakan hajatan tanpa ribut soal sound. Belum tentu bisa.”
Lucunya negeriku. Dan mungkin, justru karena kelucuan inilah kita masih betah tinggal di sini.
Oleh: Gus Sholikh al-Huda
Pemerhati Sosial Budaya Akar Rumput
Editor : Redaksi