Memahami Kemerdekaan yang Sebenarnya Ala Tan Malaka: Bukan Sekadar Lepas dari Penjajahan

Selasa, 19 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sorotan.co.id – Ketika kita membicarakan kemerdekaan, bayangan pertama yang sering muncul adalah peristiwa 17 Agustus 1945—pengibaran bendera merah putih, proklamasi yang menggema, dan akhir dari masa penjajahan fisik oleh bangsa asing. Namun, bagi Tan Malaka, tokoh revolusioner dan pemikir kiri yang kerap disingkirkan dari arus utama sejarah Indonesia, kemerdekaan bukanlah sekadar simbol atau momen. Ia adalah proses panjang yang penuh perjuangan, dan lebih dari itu, kemerdekaan adalah soal kesadaran, keadilan, dan pembebasan rakyat secara menyeluruh.

Tan Malaka bukanlah sosok yang hanya bicara tentang politik dalam pengertian praktis. Ia adalah pemikir yang mencoba menyelami akar persoalan bangsa dari berbagai sudut: sosial, ekonomi, budaya, hingga filsafat. Dalam karya-karyanya, terutama Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), ia berusaha merombak cara berpikir masyarakat Indonesia yang selama ini tunduk pada takhayul dan otoritas tanpa kritik. Ia menekankan bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai jika rakyat mampu berpikir bebas, logis, dan kritis. Dengan kata lain, bagi Tan Malaka, kemerdekaan dimulai dari memerdekakan pikiran.

Namun pemikiran Tan Malaka tidak berhenti di tingkat intelektual. Ia sangat memahami realitas sosial rakyat Indonesia—kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan yang ditinggalkan oleh sistem kolonial. Maka, ia memperjuangkan kemerdekaan yang tidak hanya mengganti bendera dan penguasa, tetapi juga mengubah struktur sosial secara fundamental. Ia menolak bentuk kemerdekaan yang hanya memberi ruang kepada kaum elite nasionalis yang berkompromi dengan kepentingan kolonial dan kapitalisme global. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan harus berpihak pada rakyat kecil: buruh, petani, dan kaum miskin kota.

Konsepnya tentang Republik Indonesia yang ditulis jauh sebelum proklamasi, menunjukkan pandangan yang visioner. Ia membayangkan Indonesia yang merdeka secara politik, tetapi juga mandiri secara ekonomi, serta egaliter dalam struktur sosial. Tan Malaka tidak menginginkan Indonesia yang hanya menjadi negara boneka, yang secara formal merdeka namun tetap bergantung pada kekuatan asing dan dikuasai oleh segelintir elite dalam negeri.

Di sinilah letak ketajaman pemikirannya: Tan Malaka memandang kemerdekaan sebagai proses revolusioner yang tidak boleh berhenti. Kemerdekaan adalah perjuangan yang terus menerus, bukan tujuan akhir. Ia menentang segala bentuk penindasan, termasuk penindasan yang dilakukan oleh bangsa sendiri terhadap rakyatnya. Karena itu, ia tidak segan mengkritik para pemimpin yang menurutnya menyimpang dari cita-cita kemerdekaan sejati. Dan inilah yang membuatnya seringkali disingkirkan, bahkan dilupakan dalam narasi resmi sejarah bangsa.

Ironisnya, meskipun Tan Malaka telah diakui sebagai Pahlawan Nasional, banyak gagasan-gagasannya justru tidak diajarkan secara luas. Padahal, di tengah krisis keadilan sosial dan maraknya kemiskinan struktural saat ini, pemikirannya menjadi semakin relevan. Apakah kemerdekaan hari ini telah memenuhi syarat sebagaimana yang dibayangkan Tan Malaka? Apakah rakyat sudah benar-benar berdaulat atas tanah, pendidikan, dan kehidupannya sendiri? Atau justru kita terjebak dalam bentuk baru dari penjajahan: ketergantungan ekonomi, hegemoni asing, dan ketimpangan sosial yang semakin tajam?.

Memahami kemerdekaan ala Tan Malaka mengajak kita untuk menolak puas hanya dengan kemerdekaan simbolik. Ia menantang kita untuk berpikir ulang tentang makna kebebasan—bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari ketakutan, dari kemiskinan, dari kebodohan, dan dari penindasan struktural dalam segala bentuknya.

Tan Malaka mungkin telah tiada, tetapi gagasannya tetap hidup dan, dalam banyak hal, belum selesai diperjuangkan.

Oleh : Sahrul Ardiansyah

Ketua Ikatan Alumni Mahlabul Ulum, Kepala Sekolah SMK Kesehatan Sumenep

Editor : Redaksi

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Lucunya Negeriku, Peradaban Speaker: Masih Ribut Soal Suara Sound, Negara Lain Sudah Bikin Perumahan di Bulan
HUT RI: Rakyat Lomba Lompat Karung, Koruptor Lomba Bebas Duluan
Merdeka? Tapi Pajak Masih Menjerat Rakyat !
Ironi Wakil Rakyat Diam dan Rakyat yang Ditinggalkan: Belajar dari Perjuangan Masyarakat Pati
Api Perlawanan Dari Pati: Ketika Rakyat Protes Pada Pemimpin Tumpul Nurani
Disintegritas Kampus : Ketika Gelar & Karya Akademik Tampil di Marketplace
Menghidupkan Warisan Bung Karno Era Digital Pada Generasi Z
KH. Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan Ir. Soekarno: Sang Suluh Bangsa Indonesia

Berita Terkait

Jumat, 22 Agustus 2025 - 19:27 WIB

Lucunya Negeriku, Peradaban Speaker: Masih Ribut Soal Suara Sound, Negara Lain Sudah Bikin Perumahan di Bulan

Selasa, 19 Agustus 2025 - 16:07 WIB

Memahami Kemerdekaan yang Sebenarnya Ala Tan Malaka: Bukan Sekadar Lepas dari Penjajahan

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:56 WIB

HUT RI: Rakyat Lomba Lompat Karung, Koruptor Lomba Bebas Duluan

Jumat, 15 Agustus 2025 - 09:04 WIB

Merdeka? Tapi Pajak Masih Menjerat Rakyat !

Rabu, 13 Agustus 2025 - 21:50 WIB

Ironi Wakil Rakyat Diam dan Rakyat yang Ditinggalkan: Belajar dari Perjuangan Masyarakat Pati

Berita Terbaru

Daerah

PCM Omben: Sinergi Baru, Harapan Baru Muhammadiyah Sampang

Senin, 25 Agu 2025 - 14:02 WIB

Pendidikan

PKKMB UPI Sumenep 2025, Momentum Lahirkan Generasi Emas Madura

Senin, 25 Agu 2025 - 12:04 WIB