Sumenep – Ketidakpuasan memuncak. Sejumlah pengusaha rokok di Kabupaten Sumenep secara terang-terangan mendesak agar Paguyuban Pengusaha Rokok (PR) Sumenep dibubarkan. Mereka menilai organisasi tersebut tidak berguna, tak kondusif, dan hanya membebani dengan iuran bulanan yang tak jelas manfaatnya.
Kritik keras ini muncul dari berbagai pelaku usaha rokok, baik skala kecil maupun menengah, yang selama ini merasa ditelantarkan oleh paguyuban. Mereka menilai PR Sumenep hanya menjadi wadah formalitas tanpa fungsi nyata dalam memperjuangkan nasib anggotanya.
“Iuran kami setor setiap bulan, tapi hasilnya nol besar! Tidak ada advokasi, tidak ada pembelaan ketika ada tekanan regulasi. Buat apa ada paguyuban kalau hanya jadi beban?” kecam seorang pengusaha rokok lokal yang meminta namanya dirahasiakan.
Kondisi internal paguyuban pun disebut tidak kondusif, penuh dengan konflik diam-diam, dan minim koordinasi. Pengurus dinilai gagal membangun komunikasi yang sehat dan produktif dengan anggotanya. Bahkan, beberapa anggota mengaku tidak pernah mendapatkan laporan penggunaan dana iuran.
“Kalau cuma buat kumpul-kumpul elitis dan seremonial kosong, lebih baik bubarkan saja. Kami butuh organisasi yang kerja, bukan pajangan,” sindir pengusaha lainnya.
Desakan ini bukan yang pertama. Sudah beberapa waktu lalu suara-suara ketidakpuasan mengemuka, namun tak pernah direspons secara serius oleh jajaran pengurus. Kini, tekanan itu semakin menguat, dengan tuntutan yang lebih tegas: bubarkan Paguyuban PR Sumenep jika tak sanggup berbenah.
“Kalau ada masalah, pengurus selalu cuci tangan. Kami dibiarkan berjuang sendiri seolah-olah bukan bagian dari mereka. Padahal iuran kami jalan terus tiap bulan. Ini paguyuban atau kumpulan penonton?” tegas salah satu pengusaha Rokok Lokal, yang enggan disebut namanya.
“Kami ini bukan ATM. Setiap bulan diminta iuran, tapi saat ada persoalan pengurus terkesan menghilang. Cuma muncul pas foto-foto dan acara formal.” imbuhnya.
Menurut dia, Paguyuban ini seharusnya jadi wadah solusi buat anggotanya. Tapi yang terjadi, saat ada tekanan, mereka justru diam.
“Kami seolah hanya dijadikan objek setoran, masalah terus menerus bermunculan dan semakin tidak kondusif,” terangnya.
Sementara, salah satu anggota Paguyuban PR Sumenep yang identitasnya juga tidak mau dipublis menuntut pembubaran karena merasa keberadaannya justru menambah beban.
“Bukan membantu, malah menambah derita. Kami disuruh bayar iuran tiap bulan, tapi saat usaha kami ditekan, mereka diam saja. Lebih baik bubarkan saja daripada terus menyiksa anggotanya,” tuturnya.
“Kami ini bukan sapi perah. Iuran jalan terus, hak kami nol besar. Jangan pakai ada ‘paguyuban’ kalau kerjanya cuma bikin kecewa. Segera bubarkan!” tandasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pengurus paguyuban belum memberikan klarifikasi resmi atas desakan pembubaran.
Situasi ini menjadi cerminan buruknya tata kelola organisasi yang semestinya menjadi garda terdepan dalam membela kepentingan anggotanya. Jika tak segera ada perbaikan, bubar menjadi satu-satunya jalan terhormat.
Penulis : Andriansyah