Detikzone.id – Kerendahan hati bukan sekedar etika sosial, tapi amanah leluhur yang diwariskan kepada kita.
Mereka berjalan dalam diam, namun menanam hikmah dalam setiap langkah.
Di balik pakaian sederhana mereka, tersimpan kebesaran jiwa.
Kerendahan hati adalah tempat leluhur mengajarkan nilai tanpa suara.
Di balik tutur yang lembut, tersembunyi kekuatan yang tidak memamerkan.
Leluhur kita tidak mengajarkan untuk meninggi, melainkan untuk mengakar.
Kerendahan hati yang mereka amanahkan adalah petunjuk hidup,
bahwa semakin tahu, semakin diam.
Semakin berkuasa, semakin berhati-hati.
Semakin tinggi jabatan, semakin tunduk kepada kebenaran.
Dan semakin tua usia, semakin banyak memberi dan mengampuni.
Amanah ini diturunkan bukan untuk ditinggal di belakang,
tetapi untuk dijunjung dalam hidup kita hari ini.
Karena dunia yang bising dengan ego dan kesombongan, hanya bisa ditenangkan oleh mereka yang membawa kerendahan hati dalam tindak dan tutur.
“Jangan kau warisi tanah tanpa budi, jangan kau genggam ilmu tanpa rendah hati.” Begitulah bisik nilai yang dititipkan para leluhur kepada generasi setelahnya.
Kini, di pundak kitalah amanah itu berada. Apakah kita akan menjaga, atau justru mengabaikannya?
Kerendahan Hati itu Kasat Mata
Kerendahan hati itu kasat mata, tidak tampak oleh mata biasa,
tapi terasa oleh hati yang peka.
Ia tidak mengenakan pakaian mewah,
tidak berdiri di atas panggung,
tidak memamerkan kepintaran,
tapi hadir dalam diam yang penuh makna.
Kerendahan hati terlihat ketika seseorang mampu tersenyum saat disalahkan, tetap tenang saat dipuji,
dan memilih diam saat tahu lebih banyak.
Ia tak membutuhkan pengakuan,
karena nilainya tak diukur oleh sorotan,
melainkan oleh ketulusan yang terus hidup dalam tindakan.
“Yang tinggi tidak harus meninggikan suara. Yang tahu tidak selalu merasa paling benar. Yang hebat justru tampak sederhana.”
Kerendahan hati memang kasat mata,
tapi ia adalah cahaya halus yang membimbing manusia menuju kebesaran sejati.
Saatnya Kembali ke Pusaka yang Terlupakan yakni Kerendahan Hati
Di tengah gemuruh dunia digital yang dipenuhi sorakan ego, kesombongan yang dibungkus prestasi, dan kecenderungan ingin selalu tampil paling tahu, kita seolah lupa bahwa para leluhur telah mewariskan pusaka paling berharga yakni kerendahan hati.
Kerendahan hati bukan pusaka yang bisa digenggam tangan atau dipamerkan di rak kaca. Ia adalah warisan tak kasat mata, hanya dapat dimiliki oleh mereka yang bersedia mendengar, belajar, dan merenung.
Bukan hanya mendengar dengan telinga, tapi juga dengan kesadaran dan kebijaksanaan hati.
Sayangnya, nilai ini semakin terkikis.
Di era di mana suara paling keras dianggap paling benar, dan citra dianggap lebih penting daripada isi, kerendahan hati tampak seperti kekalahan, padahal justru di situlah letak kebesaran.
Bukankah leluhur kita dahulu tak banyak berkata, tapi kuat dalam tindakan?
Bukankah mereka tak menuntut dihormati, namun tetap dihormati karena sikap dan laku hidup mereka?
Hari ini, kita butuh kembali pada akar.
Mengingat bahwa menjadi besar bukan berarti meninggikan diri.
Dan menjadi benar, tidak harus membungkam orang lain.
Kerendahan hati harus kita rawat, bukan hanya sebagai warisan budaya, tapi sebagai sikap hidup yang membedakan manusia bijak dari sekadar pintar. Karena hanya mereka yang rendah hati yang mampu menerima masukan, belajar tanpa henti, dan membangun tanpa menghancurkan.
Penulis : Redaksi