NU atau Muhammadiyah, Ujungnya Ketemu Juga

Senin, 4 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sorotan.co.idPernyataan KH. Ahmad Musthofa Bisri, atau yang akrab disapa Gus Mus, “Orang Muhammadiyah yang tinggi ilmunya akan semakin mirip NU, dan orang NU yang tinggi ilmunya akan semakin mirip Muhammadiyah” merupakan sebuah ungkapan yang kaya makna dan penuh hikmah.

Di tengah perbedaan organisasi keislaman di Indonesia, khususnya antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, ungkapan ini membuka ruang refleksi: apakah perbedaan-perbedaan itu memang substansial, atau hanya berada di tataran metode, pendekatan, dan historisitas?

Tulisan ini akan mencoba menafsirkan makna ungkapan Gus Mus tersebut dari berbagai sudut pandang: teologis, sosiologis, historis, dan epistemologis, serta bagaimana seharusnya umat Islam memaknainya dalam konteks keindonesiaan dan kemanusiaan yang lebih luas.

NU dan Muhammadiyah: Dua Sayap Besar Islam Indonesia

Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Muhammadiyah dikenal dengan pendekatan purifikasi (pemurnian) Islam-nya yang cenderung rasional dan tekstual, serta berorientasi pada pembaruan sosial dan pendidikan. Sementara itu, NU dikenal dengan pendekatan tradisional yang menekankan pentingnya sanad, tarekat, dan praktik keagamaan lokal yang berlandaskan mazhab Syafii, Asyariyah, dan Tasawuf al-Ghazali.

Perbedaan-perbedaan ini sering kali dibesar-besarkan seolah-olah keduanya tidak mungkin bertemu. Namun, pernyataan Gus Mus menegaskan sebaliknya: di titik ilmu yang tinggi, para ulama dan cendekiawan dari kedua belah pihak justru bertemu pada maqam keilmuan, maqam hikmah, dan maqam keikhlasan yang sama.

Di Titik Ilmu, Perbedaan Menjadi Keseimbangan

Ketika seseorang dari Muhammadiyah semakin tinggi ilmunya, ia akan memahami bahwa konteks sosial dan budaya memiliki tempat dalam praktik keagamaan. Ia tidak lagi sekadar berpikir dalam batas literal teks, melainkan memahami maqashid al-syariah (tujuan syariat). Di sinilah ia tampak semakin NU: toleran terhadap perbedaan, memahami pentingnya kearifan lokal, dan lembut dalam pendekatan dakwah.

Sebaliknya, ketika seorang dari NU semakin dalam keilmuannya, ia akan memahami bahwa banyak praktik keagamaan yang selama ini dilakukan perlu dikaji ulang dengan pendekatan yang lebih kritis dan rasional. Ia tidak lagi terkungkung oleh tradisi yang tak berdasar kuat, dan mulai mendekati corak pemikiran rasional-tekstual yang selama ini dikembangkan oleh Muhammadiyah. Maka, ia pun tampak “semakin Muhammadiyah”.

Dengan kata lain, semakin seseorang tinggi ilmunya, semakin ia mengarah pada titik konvergensi antara NU dan Muhammadiyah: pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin, terbuka, toleran, dan mencerahkan.

Ilmu Meluruhkan Fanatisme

Gus Mus adalah sosok ulama yang dikenal rendah hati dan memiliki pandangan moderat. Ia memahami betul bahwa fanatisme organisasi sering lahir dari keterbatasan ilmu dan pengalaman. Ketika seseorang baru mengenal agamanya lewat satu pendekatan tertentu, ia cenderung membela pendekatan itu mati-matian. Tapi seiring waktu, dengan belajar dan membuka diri terhadap pendapat-pendapat lain, ia menyadari bahwa kebenaran itu tidak bisa dimonopoli oleh satu kelompok.

Pernyataan Gus Mus bisa dimaknai sebagai kritik halus terhadap fanatisme ormas keagamaan. Bahwa, NU dan Muhammadiyah bukanlah identitas yang harus dipertentangkan, melainkan jalan yang berbeda dalam menuju Tuhan yang sama. Di tangan orang-orang berilmu, ormas hanyalah wasilah (sarana), bukan tujuan.

Kesamaan Nilai, Beda Wadah

Ada banyak kesamaan antara NU dan Muhammadiyah. Keduanya menjunjung tinggi pendidikan, keduanya sangat peduli terhadap bangsa dan negara, dan keduanya memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai keislaman yang moderat. Hanya saja, ekspresi dari nilai-nilai tersebut terkadang berbeda.

Muhammadiyah, dengan amal usaha pendidikan, rumah sakit, dan gerakan dakwah yang sistematis, terlihat sangat modern dan efisien. NU, dengan jaringan pesantren, tradisi keilmuan klasik, dan kultur lokal, memperlihatkan wajah Islam yang membumi dan merakyat

Ketika orang Muhammadiyah belajar lebih dalam tentang warisan keilmuan Islam klasik, ia akan memahami pentingnya tradisi sanad, pentingnya menjaga khazanah fiqih mazhabi, dan pentingnya tarekat dalam membentuk kepribadian spiritual. Ia pun akan menjadi mirip NU.

Sebaliknya, ketika orang NU memahami pentingnya pengelolaan amal usaha yang profesional, pentingnya efisiensi organisasi, dan pentingnya pembaruan dalam metode dakwah, ia akan menjadi “mirip Muhammadiyah”.

Jalan Tengah: Islam Wasathiyah

Apa yang ditunjukkan oleh ungkapan Gus Mus juga merupakan representasi dari semangat Islam Wasathiyah Islam moderat yang menjadi fondasi kehidupan beragama di Indonesia. Dalam Islam Wasathiyah, tidak ada dominasi satu pendekatan atas yang lain. Yang ada adalah saling melengkapi.

Ilmu menjembatani perbedaan. Ia memurnikan niat, melembutkan hati, dan mengarahkan seseorang untuk selalu terbuka terhadap kebenaran, dari manapun datangnya. Orang Muhammadiyah dan NU yang tinggi ilmunya tidak akan sibuk memperdebatkan qunut atau tidak qunut, tahlilan atau tidak, melainkan akan sibuk membangun masyarakat, mendidik anak-anak bangsa, memperjuangkan keadilan sosial, dan menjaga perdamaian.

Relevansi untuk Umat Islam Hari Ini

Di era media sosial yang penuh polarisasi, pernyataan Gus Mus menjadi relevan. Kita sering menyaksikan perdebatan-perdebatan dangkal antar warga NU dan Muhammadiyah, yang justru tidak mewakili substansi perjuangan kedua organisasi itu sendiri. Di tengah kemajuan teknologi informasi, seharusnya umat Islam lebih mudah mengakses ilmu, bukan memperuncing perbedaan.

Generasi muda Islam perlu menyadari bahwa NU dan Muhammadiyah adalah dua anugerah besar bagi Indonesia. Keduanya adalah tiang-tiang kokoh dalam menjaga keutuhan NKRI, membentengi bangsa dari radikalisme, dan menjadi teladan Islam yang damai.

Mengikuti jejak para ulama besar seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari, kita harus mengedepankan substansi daripada simbol, esensi daripada bentuk, dan persatuan daripada perpecahan.

Bertemu di Titik Hikmah

Akhirnya, pernyataan Gus Mus adalah seruan untuk kita semua agar tidak berhenti belajar. Karena hanya dengan ilmu, kita bisa keluar dari belenggu egoisme kelompok, menuju keluasan pandangan dan kedalaman makna.

Orang Muhammadiyah yang tinggi ilmunya tidak akan menjadi sempit dan eksklusif; sebaliknya, ia akan terbuka, toleran, dan penuh kasih seperti NU. Demikian pula, orang NU yang tinggi ilmunya tidak akan terjebak dalam simbolisme dan tradisi tanpa makna; ia akan rasional, efektif, dan dinamis seperti Muhammadiyah.

Pada akhirnya, di titik ilmu yang tinggi, NU dan Muhammadiyah tak lagi tampak sebagai dua entitas yang berbeda, melainkan dua saudara yang saling mengisi, berjalan seiring menuju Allah dengan cara masing-masing. 

Penulis: Dr Sholikh Al Huda (Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Timur) 

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Merdeka? Tapi Pajak Masih Menjerat Rakyat !
Ironi Wakil Rakyat Diam dan Rakyat yang Ditinggalkan: Belajar dari Perjuangan Masyarakat Pati
Api Perlawanan Dari Pati: Ketika Rakyat Protes Pada Pemimpin Tumpul Nurani
Disintegritas Kampus : Ketika Gelar & Karya Akademik Tampil di Marketplace
Menghidupkan Warisan Bung Karno Era Digital Pada Generasi Z
KH. Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan Ir. Soekarno: Sang Suluh Bangsa Indonesia
Leluhur Mengajarkan Budi Luhur Lewat Hening yang Membumi

Berita Terkait

Jumat, 15 Agustus 2025 - 09:04 WIB

Merdeka? Tapi Pajak Masih Menjerat Rakyat !

Rabu, 13 Agustus 2025 - 21:50 WIB

Ironi Wakil Rakyat Diam dan Rakyat yang Ditinggalkan: Belajar dari Perjuangan Masyarakat Pati

Selasa, 12 Agustus 2025 - 03:00 WIB

Api Perlawanan Dari Pati: Ketika Rakyat Protes Pada Pemimpin Tumpul Nurani

Sabtu, 9 Agustus 2025 - 03:32 WIB

Disintegritas Kampus : Ketika Gelar & Karya Akademik Tampil di Marketplace

Jumat, 8 Agustus 2025 - 05:34 WIB

Menghidupkan Warisan Bung Karno Era Digital Pada Generasi Z

Berita Terbaru

Opini

Merdeka? Tapi Pajak Masih Menjerat Rakyat !

Jumat, 15 Agu 2025 - 09:04 WIB